Rabu, 22 Februari 2012

Penyebab Dan Cara Atasi Baby Blues

Setelah melahirkan, seorang ibu bisa jadi mudah menangis bahkan ada yang sampai membenci bayinya. Hal itu terjadi karena ibu mengalami baby blues. Apa penyebabnya? Bagaimana cara mengatasinya?

Memiliki seorang bayi memang menyenangkan tetapi yang mungkin beberapa wanita belum sadari adalah hal tersebut juga melelahkan. Setelah melahirkan ibu tentu sangat bahagia mendapatkan seorang bayi dan merasa semakin dicintai oleh pasangan. Namun di lain sisi tanpa sadar, Anda jadi mudah menangis bahkan sampai stres oleh hal-hal yang biasanya tidak menggangu Anda.

Stres dan perasaan sensitif itu dapat menyebabkan Anda kelelahan, susah tidur, atau cemas. Selera makan juga bisa meningkat atau menurun. Stres tersebut dapat makin menjadi-jadi ketika Anda memendam kekhawatiran apakah bisa menjadi ibu yang baik, cukupkah ASI yang didapat bayi, kenapa bayi menangis terus, dan lain sebagainya.

Seluruh perasaan gelisah di atas disebut dengan ‘baby blues’. Perasaan gelisah setelah melahirkan adalah hal yang normal terjadi pada minggu awal setelah melahirkan.

Penyebab & Cara Penanganannya

Setelah melahirkan, tubuh Anda akan berubah dengan cepat. Tingkat hormon berkurang, ASI muncul, payudara akan membesar, dan Anda akan merasa lelah. Masalah fisik seperti ini adalah salah satu faktor munculnya rasa gelisah tersebut.

Kurang tidur juga dapat memperburuk kondisi ini, jadi istirahatlah yang cukup. Selain itu faktor emosional juga mempengaruhi gejala ini. Karena Anda tiba-tiba akan mendapatkan tanggung jawab baru, seperti mencemaskan kondisi bayi Anda dan masa transisi Anda menjadi seorang Ibu. Tetapi kabar baiknya adalah perasaan ini bukanlah penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya. Dukungan dari keluarga dan teman akan sangat membantu.

Ketika perasaan sedih atau gelisah itu mulai mengganggu, cobalah bicara pada orang yang Anda percaya. Suami atau ibu Anda misalnya. Teman yang juga sudah pernah melahirkan pun dapat jadi orang yang Anda ajak berbagi. Biasanya mereka lebih paham dan mampu menenangkan kegelisahan tersebut.

Ketika Orang Terdekat Merasakan Baby Blues

Tidak hanya Anda, namun rekan kerja, sahabat, dan keluarga dekat Anda juga dapat mengalami baby blues. Rasa lelah, tidak yakin pada diri sendiri dapat menjadi beban bagi mereka karena belum pernah mengalami hal ini sebelumnya.

Ketika mereka sedang mengalaminya, cobalah Anda yakinkan pada sang ibu bahwa ia bukan satu-satunya wanita yang mengalami baby blues. Cukup dengan Anda mendengarkan keluh kesahnya, dan juga berikan semangat kepadanya. Lalu katakan padanya bahwa ia sudah melakukan semuanya dengan baik. Berikan perhatian padanya dengan menerima pesan singkat darinya, membuat makan malam untuknya, serta bantu dia membuat jadwal dan daftar prioritas tentang mana hal-hal yang harus ia selesaikan dan mana yang bisa ditunda dahulu.

Baby Blues atau Depresi Pasca Melahirkan

Orang-orang kadang keliru membedakan antara baby blues dengan depresi pasca melahirkan karena dua hal tersebut memiliki gejala yang sama. Jadi dari mana Anda tahu apakah yang Anda alami ini baby blues atau depresi?

Di minggu-minggu pertama, ibu sudah pasti akan mengalami emosi yang naik turun. Ibu bisa saja merasa bahagia, namun dengan cepat perasaan senang itu berubah menjadi tangisan.

Kalau perasaan gelisah dan emosi yang naik-turun itu terus terjadi selama lebih dari tiga minggu pasca melahirkan, ibu sebaiknya menghubungi dokter atau bidan dan meminta bantuan tenaga profesional. Jika ibu memiliki sejarah depresi dan dalam riwayat keluarga terdapat sejarah masalah tersebut, maka Anda kemungkinan besar akan mengalaminya.



TRIK AGAR PEREMPUAN PUNYA PENGHASILAN DARI RUMAH, KUNJUNGI DI SINI


MAU BELANJA APA SAJA, LENGKAP , AMAN DAN MURAH... KLIK DI SINI

Jumat, 10 Februari 2012

Kenapa Anak anak Sering Berpikiran Dirinya Anak Tiri?


img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, 'Aku ini anak tiri, aku bukan anak kandung Papa Mama', ujar seorang anak sambil menangis tersedu-sedu saat dimarahi orangtuanya. Kenapa anak kecil sering merasa dirinya bukan anak kandung ayah ibunya saat sedang marah?

"Dimarahi tentu saja rasanya tidak menyenangkan, termasuk yang dirasakan oleh anak-anak," ujar Psikolog anak, Alzena Masykouri, MPsi saat menjawab detikHealth,Selasa (31/1/2012).

Alzena menuturkan isu yang secara populer terjadi pada anak usia pra remaja adalah memastikan identitasnya, termasuk apakah ia anak kandung atau bukan. Namun ada konsep di masyarakat bila bukan anak kandung maka akan selalu salah dan dimarahi.

"Konsep ini yang sedang diuji oleh anak pra remaja saat melakukan pencarian identitas, apakah ia anak kandung atau bukan," ujar psikolog lulusan Magister psikologi UI tahun 2002.

Alzena menjelaskan dengan melakukan pola komunikasi yang baik termasuk dalam cara menegur dan memarahi, maka anak akan yakin bahwa dirinya adalah anak kandung dan mendapatkan identitasnya sebagai bagian dari anggota keluarga.

Kondisi ini juga kadang dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan orangtua pada anak, baik dalam bentuk perlakuan fisik maupun psikis seperti tutur kata, sikap, perilaku dan tindakan. Tidak ada pola asuh yang benar atau salah, hal yang penting adalah menyesuaikan dengan situasi atau menggunakan teknik tarik ulur.

"Pengaruh pola asuh terhadap kepribadian dan karakter si anak nantinya sangat besar. Apa yang diberikan oleh orangtua sejak anak dilahirkan hingga usia 15-16 tahun akan membentuk kepribadian anak," ungkapnya.

Dalam pelaksanaannya, orangtua tidak boleh kaku atau terbatas pada pola asuh yang itu-itu saja. Tapi harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

"Yang tidak boleh atau harus dihindari orangtua adalah pola asuh yang terlalu berlebihan, karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi tidak baik. Jadi yang sedang-sedang saja," ungkap psikolog lulusan Magister psikologi UI tahun 2002


KOLEKSI JILBAB TERBARU HARGA GROSIR ADA DI SINI


KOLEKSI BATIK ASLI INDONESIA ADA DI SINI


SPREI DAN BEDCOVER BERMERK HARGA GROSIR ADA DI SINI

Anak main Dokter dokteran Menjurus ke Perilaku Seks


img
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Hingga usia tertentu, anak main dokter-dokteran dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin masih bisa dianggap normal. Namun pada usia tertentu, perilaku ini harus diwaspadai dan jika perlu diarahkan untuk memilih permainan lain.

Dalam buku berjudul Is this Normal? Understanding Your Child's Sexual Behaviour, Holly Brennan dan Judy Graham menilai perilaku seks anak dikatakan normal jika didasari oleh sikap spontan dan rasa penasaran. Salah satunya untuk melihat dan menyentuh bagian sensitif lawan jenis.

Salah satu contohnya adalah main dokter-dokteran, yakni saling memeriksa tubuh atau secara teknis bisa disebut saling meraba. Dicontohkan juga, perilaku yang terang-terangan saling melihat alat kelamin juga masih bisa dikatakan normal hingga usia sekitar 5 tahun.

Namun pada anak-anak yang lebih tua dari itu, perilaku saling meraba atau melihat alat kelamin perlu diwaspadai atau bahkan dianggap tidak normal. Pada usia tersebut, perilaku ini tidak lagi spontan karena anak-anak tersebut sudah mendekati masa puber.

Dalam buku tersebut, batasan-batasan perilaku seks pada anak yang dianggap normal dan tidak normal digambarkan seperti lampu lalu lintas. Kategori lampu hijau berarti normal, kuning berarti perlu diwaspadai sedangkan merah butuh intervensi atau bimbingan.

Faktor usia menentukan apakah perilaku seksual anak masuk kategori normal atau tidak normal. Misalnya saling melihat atau memegang alat kelamin dikategorikan sebagai lampu hijau pada anak usia 2-5 tahun, namun jika ada anak perempuan umur 7 tahun melihat laki-laki umur 13 tahun saling raba dengan lawan jenis maka itu dikategorikan lampu merah.

"Kadang orangtua tidak tahu pasti, kapan harus dan kapan tidak harus mengkhawatirkan perilaku seks anak-anaknya. Anak bisa salah, tapi orangtua tidak boleh malu bicara tentang seks untuk membantu mereka tumbuh di lingkungan yang sehat," kata Brennan seperti dikutip dari Brisbanetimes, Selasa (7/2/2012).

Waspada,Ternyata Anak Juga Bisa Terkena Gangguan Jiwa!!!


img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Masa anak-anak harusnya menjadi masa menyenangkan dan tanpa beban. Namun beberapa anak juga bisa mengalami gangguan jiwa terutama anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang bermasalah.

"Gangguan jiwa pada anak belum banyak dibahas, tapi harus hati-hati karena anak masih bergantung pada orangtua," jelas dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Jakarta, Sabtu (11/2/2012).

Kebanyakan anak yang mengalami gangguan jiwa disebabkan karena faktor dari orangtua. Bila orangtua bermasalah, maka bisa mempengaruhi anak.

Gangguan jiwa pada anak biasanya ditandai dengan gangguan emosi dan perilaku.
Ada beberapa gejala yang dapat menunjukkan gangguan jiwa pada anak, seperti dilansir dr Tun, antara lain:
1. Menolak untuk sekolah
2. Menjadi lebih cengeng
3. Pemarah
4. Sering mimpi buruk
5. Lebih sering mengompol
6. Sering sakit perut
7. Kesulitan belajar
8. Prestasi menurun
9. Gangguan bicara pada balita
10. Gangguan komunikasi
11. Retardasi mental (keterbelakangan mental)
12. Disleksia (kesulitan membaca)

Menurut dr Tun, orangtua harus lebih cermat mengamati perkembangan anak, apalagi pada anak-anak yang berusia masih sangat muda.

"Gangguan jiwa pada anak tergantung pada orangtua. Sebenarnya terkadang orangtua sudah lama mencermati bahwa ada perubahan pada anak, entah tingkah laku atau kepribadiannya. Namun orangtua baru membawa anak ke psikiater ketika anak sudah menunjukkan perilaku yang mengganggu, seperti suka memukul, banting-banting barang, pemarah," jelas dr Tun.

Untuk pengobatan gangguan jiwa pada anak, biasanya dokter akan memberikan terapi khusus serta pendidikan khusus. Gangguan jiwa pada anak sebaiknya segera dideteksi dan ditangani, karena jiwa dibiarkan begitu saja bisa berlanjut hingga dewasa.



GROSIR SPREI DAN BEDCOVER MURAH HANYA ADA DI SINI


KOLEKSI BATIK INDONESIA ADA DI SINI


JILBAB DAN BUSANA MULIM TERBARU ADA DI SINI

Selasa, 07 Februari 2012

Mengapa Air Rebusan Mie Instan Harus Dibuang??

Membuang air rebusan mie instan tidak menghilangkan
bahan kimia didalamnya, hanya mengurangi saja

 Mi instan merupakan salah satu makanan yang paling mudah ditemukan, praktis, dan disukai banyak orang karena rasanya yang enak. Daya simpannya yang lama juga membuat mi instan kerap menjadi pilihan untuk mereka yang tinggal sendiri, namun tak punya waktu untuk memasak.
Meski begitu, terlalu banyak mengonsumsi mi instan disinyalir akan menimbulkan banyak efek negatif bagi tubuh oleh karena kandungan bahan pengawet atau penyedap rasanya. Kemudian, selain kandungan karbohidrat, mi instan tak cukup memiliki kandungan vitamin, mineral, atau serat, yang bermanfaat bagi tubuh. Sehingga, pada dasarnya mi instan tidak cukup memiliki nutrisi bagi keseimbangan gizi tubuh manusia.
"Namun yang paling berbahaya adalah adanya kandungan bahan pengawet, MSG (monosodium glutamat), dan bahan pewarna makanan yang ada di dalam mi instan," ungkap dr Patricia Wijaya, dokter ahli kecantikan dari Beauty Inc. kepadaKompas Female, usai peluncuran produk mi instan baru di Swiss Bel Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2012) lalu.
Kandungan bahan berbahaya dalam mi instan ini didapatkan dari proses pengolahan sampai proses pengawetan yang dilakukan dengan cara menggoreng mi sampai kering. Proses penggorengan biasanya menggunakan minyak goreng, yang membuat air rebusan menjadi keruh dan sedikit berminyak ketika direbus.
"Banyak orang yang mengatakan bahwa air rebusan pertama ini harus dibuang agar pengawetnya hilang. Namun sebenarnya zat pengawet ini tidak akan hilang," tukas dr Patricia.
Air rebusan mi instan yang pertama akan mengeluarkan minyak dan zat kimia lainnya yang mungkin saja digunakan untuk membuatnya. Namun, bahan pengawet dan kandungan lain yang berbahaya bagi kesehatan ketika diolah lebih lanjut ini tidak akan hilang 100 persen. Ia hanya akan berkurang sedikit ketika air rebusan pertama dibuang.
Kandungan minyak, bahan pengawet, MSG, dan zat pewarna masih akan tetap menempel pada mi instan meski kadarnya sudah berkurang beberapa persen. Perlu Anda ketahui, penggunaan bahan pengawet tak selamanya membahayakan, karena produsen mi instan tentunya harus mengikuti standar aman yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun kandungan bahan kimia ini masih berpotensi untuk menyebabkan berbagai gangguan kesehatan bila dikonsumsi secara rutin. "Efek yang dirasakan memang adalah efek jangka panjang, misalnya gangguan pencernaan, konstipasi, sampai kanker pencernaan, dan lainnya," tukasnya.
Dalam jangka panjang, bahan kimia tersebut juga akan sangat berbahaya bagi kecantikan wajah dan kulit. Kulit menjadi lebih kering, yang kelak akan menimbulkan berbagai gejala penuaan dini. Selain itu, mi instan juga akan merusak program diet Anda, karena kadar kalorinya tinggi. Sekali lagi, boleh-boleh saja menikmati mi instan, tetapi sebaiknya tidak dikonsumsi terlalu sering. Jangan menjadikan mi instan sebagai makanan utama, melainkan sebagai jajanan selingan saja. Tetaplah mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.