Sabtu, 20 Desember 2014

Sering Berkata Ini ke Anak? Hati-Hati Ia Tumbuh Jadi Tidak Pede

Sering Berkata Ini ke Anak? Hati-Hati Ia Tumbuh Jadi Tidak Pede

Anak yang tidak percaya diri tidak berani mencoba hal-hal yang baru. Dia mudah menyerah terhadap suatu tugas atau permainan yang sulit.

Gejala tersebut baru satu dari beberapa tanda anak yang tidak percaya diri. Untuk bisa mengajak anak jadi lebih percaya diri, orang tua harus mampu pula mengetahui apa yang menyebabkan anak jadi tidak percaya diri.

Psikolog anak, Ine Indriani Aditya, M.Psi, EST menjelaskan tujuh penyebab anak tidak percaya diri kepada ROL, Sabtu (20/12). Pertama, orang tua bisa jadi penyebab anak tidak percaya diri. Misalnya, karena orang tua sering menolak atau mengabaikan perasaan anak.

“Ah itu perasaan kamu saja, masak begitu saja tidak bisa?” Hati-hati, kata-kata seperti itu adalah salah satu bentuk pengabaian orang tua ke anak.

Penyebab berikutnya adalah sering dibanding-bandingkannya anak dengan saudara kandung atau teman. Contohnya, “seperti adik dong, makannya rapi." Atau, "kenapa kamu tidak bisa seperti Jessy yang rajin belajar."

Penyebab ketiga bisa disebabkan karena anak pernah mengalami kejadian traumatis, seperti pengalaman ditakut-takuti. Anak yang sering dituduh juga bisa membuatnya jadi tidak percaya diri. Hindari tuduhan, misalnya dengan menuding ia jadi penyebab adiknya menangis dan lainnya.

Anak yang kurang diberi kesempatan untuk bertanggung jawab dan mandiri juga bisa tumbuh tidak percaya diri. Penyebab berikutnya adalah kurangnya kepercayaan antara orangtua dan anak, sehingga timbul rasa tidak aman (insecure) pada anak. Terakhir, adalah pengalaman diabaikan atau anak yang pernah mendapatkan kekerasan.

Ine mengatakan, orang tua memang harus berhati-hati. Sebab, rasa tidak percaya diri anak mungkin disebabkan oleh perilaku dan pola pengasuhan orang tua.

Sumber : Republika

Rabu, 17 Desember 2014

4 Cara Menyembuhkan Batuk Pada Anak Sebelum Anda ke Dokter

Batuk pada anak biasanya diikuti dengan demam dan jarang sekali terjangkit tanpa terjadinya demam. Anda semua pasti pernah mengalaminya, dan pasti setuju kan kalau saya katakan saat anak sakit (dan terutama batuk) adalah bagian menegangkan bagi para ibu, siapapun mereka!
Setelah flu atau pilek berakhir, Anda masih harus mengatasi batuk pada anak yang sepertinya tidak kunjung sembuh.
cough2 4 Cara Menyembuhkan Batuk Pada Anak Sebelum Anda ke Dokter

4 Cara Menyembuhkan Batuk Pada Anak Sebelum Anda ke Dokter

Jangan remehkan batuk pada anak dengan sembarangan memberikan obat!
Batuk pada anak, baik yang berdahak maupun kering, sama-sama dirasa mengganggu aktivitas sehari-hari seorang anak,
Dua jenis batuk pada anak ialah batuk kering yang biasanya memburuk di malam hari, dan akibatnya Anda dan si kecil akan terus terjaga sepanjang malam. Sedangkan batuk berdahak lebih fatal lagi, karena dapat berujung pada bronkitis jika dahak tidak dapat dikeluarkan.

Bahaya di balik obat batuk di pasaran

Para ahli menganjurkan para orang tua agar lebih berhati-hati saat berupaya meredakan batuk pada anak dengan memberikan obat batuk yang dapat dibeli dengan mudah di pasaran dengan selalu membaca baik-baik keterangan yang terdapat pada label obat tersebut.
Obat batuk yang mengandung dekstromethorpan dan guaifenesin sebaiknya dihindari karena terlalu keras untuk anak, apalagi yang berusia di bawah 4 tahun.
Sebaliknya, para ahli merekomendasikan sejumlah obat alternatif yang dapat Anda gunakan untuk meredakan batuk pada anak. Anda dapat memberikannya ketika keadaan tak memungkinkan bagi Anda untuk pergi ke dokter, misalnya karena cuaca buruk, dsb.
Kabar baiknya, Anda dapat menemukan obat alternatif untuk meredakan batuk pada anak ini dengan mudah di sekitar rumah Anda!

Apa saja obat batuk tersebut?

1. Madu
Madu sesungguhnya lebih efektif dalam memerangi batuk pada anak daripada obat batuk yang Anda beli di supermarket.
Madu mengandung zat antimikrobial dan antioksidan alami memperkuat tubuh untuk memerangi bibit penyakit. Madu juga menstimulasi salivasi yang memicu keluarnya air liur dan meredakan rasa kering pada tenggorokan.
Aturan pemberian madu pada anak adalah sebagai berikut :
  • Setengah sendok teh madu untuk anak berusia 2 hingga 5 tahun
  • 1 sendok teh madu untuk anak berusia 6 hingga 11 tahun
  • 2 sendok teh madu untuk anak berusia 12 tahun ke atas.
Ingat, jangan berikan madu pada bayi berusia kurang dari 1 tahun, karena sistem pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna zat yang terkandung dalam madu.

2. Obat gosok
Oleskan obat gosok pada telapak kaki dan kenakan kaus kaki pada mereka agar tetap hangat. Pilihlah jenis obat gosok yang tepat sesuai usia anak. Jangan oleskan balsem panas untuk orang dewasa atau mereka malah menjadi rewel karena merasa terlalu panas.

3. Uap
Masak air hingga mendidih dan tuang air ke dalam baskom atau mangkuk. Gendong atau pangku anak di dekatnya dan minta ia menghirup uap dari air panas tersebut. Campurkan beberapa tetes minyak esensial menthol di dalamnya untuk hasil terbaik.
4. Sup ayam
cough 1 4 Cara Menyembuhkan Batuk Pada Anak Sebelum Anda ke Dokter
Sup sayuran yang hangat baik untuk meredakan batuk anak Anda
Menurut para ahli kesehatan, sup ayam mengandung semacam zat yang memperlambat pergerakan sel penyebab gangguan kesehatan pada tubuh. Sup ayam juga meningkatkan pergerakan lendir yang dapat memperbaiki pencernaan. Berikan sup ayam hangat untuk mengatasi batuk pada anak, namun jangan memaksanya jika ia menolak sup ayam Anda.
Nah, selamat mencoba!



Senin, 08 Desember 2014

Membentak Anak? Yuk Hindari dan Ketahui Akibatnya

pout Membentak Anak? Yuk Hindari dan Ketahui Akibatnya

Membentak Anak? Yuk Hindari dan Ketahui Akibatnya

Sebagian orangtua mungkin mampu meredam amarah dan tidak melakukan tindak kekerasan pada putra-putrinya yang dianggap melakukan kesalahan atau bertindak nakal. Namun, sedikit sekali orangtua yang yang mampu menahan suaranya dan tidak membentak anak untuk menunjukkan kekesalannya.
Membentak anak ataupun berteriak merupakan hal spontan yang biasa dilakukan orangtua untuk menunjukkan superioritasnya dan untuk menarik perhatian anak agar memperhatikan dan mendengarkan ucapannya.
Tahukah parents, bahwa bentakan yang merupakan gelombang suara ini, bila disertai dengan gelombang emosi yang dihasilkan oleh otak kiri akan berkolaborasi menghasilkan gelombang baru dengan efek negatif. Efek ini bersifat destruktif terhadap sel-sel otak, terutama bagi anak yang menjadi sasaran bentakan tersebut.

Apa yang terjadi ketika membentak anak?

Dalam hal ini, penelitian Lise Gliot yang dilakukannya pada anaknya sendiri, adalah yang paling populer. Ia melakukan penelitian dengan memasang kabel perekam otak yang dihubungkan dengan sebuah monitor komputer sehingga bisa melihat setiap perubahan yang terjadi dalam perkembangan otak anaknya.

Dari hasil penelitian tersebut, Gliot bisa melihat rangkaian indah yang terbentuk ketika sang anak disusui dengan sentuhan lembut di kepalanya. Namun, pada saat anaknya sedang terkejut dan mendengar bentakan, rangkaian indah itu berubah menjadi gelembung, lalu pecah berantakan dan menyebabkan perubahan warna.
Dari penelitian ini jelas menunjukkan bahwa marah dan suara bentakan terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan otak anak. Selain mempengaruhi perkembangan otak, suara bentakan juga mengganggu fungsi organ penting dalam tubuh sang anak.

Bila pada saat berlangsungnya bentakan, maka 1 milyar otak anak akan mengalami kerusakan, maka apakah yang terjadi apabila anak sering mendengar suara bentakan dari orangtuanya?
Dampak jangka panjang membentak anak :
  1. Anak akan menjadi minder dan takut mencoba hal-hal baru.
  2. Anak tumbuh menjadi pribadi yang peragu dan tidak percaya diri
  3. Anak akan memiliki sifat pemarah dan egois
  4. Anak cenderung memiliki sifat menantang, keras kepala dan suka membantah nasehat orangtua.
  5. Anak akan memiliki pribadi yang tertutup
  6. Anak cenderung apatis, dan tidak peduli terhadap lingkungan
Parents, mendidik anak dengan cinta dan kelembutan kadangkala tidak semudah mengucapkannya. Pola  dan tingkah laku anak sendiri kerap menjerumuskan orangtuanya untuk mengambil tindakan paling praktis yang bisa dilakukan.
Namun mengingat dahsyatnya dampak yang bisa diakibatkan oleh bentakan yang berkelanjutan dalam jangka panjang ada baiknya, kita berusaha untuk meminimalisir membentak anak.
Mungkin parents bisa mengikuti tips berikut :
  1. Jangan terpengaruh untuk menghentikan teriakan anak dengan bentakan yang lebih hebat.
  2. Sebelum membentak anak, ingatlah, bahwa anak adalah peniru ulung. Ia akan meniru setiap serpihan kata-kata yang kita teriakan di benaknya.
  3. Ingatlah, kepribadian anak di masa depan adalah hasil bentukan kita di masa sekarang.
  4. Segeralah mengubah posisi tubuh anda, seperti dari berdiri menjadi duduk. Hal ini akan menurunkan ketegangan emosi anda.
  5. Palingkan sejenak wajah anda dari anak yang telah membuat dada anda terasa meledak.
  6. Tarik napas dan hembuskan pelahan sambil memejamkan mata. Hal ini akan membuat dada yang sesak terasa longgar dan lapang.
Bagaimana, parents?
Yuk kita berusaha memberikan yang terbaik pada buah hati dengan mengurangi bentakan dan menggantinya dengan pelukan.

Jumat, 28 November 2014

Efek Samping Operasi Caesar

Efek jangka panjang dari operasi caesar
Efek jangka Panjang Operasi Caesar

Kelahiran normal kini sangat jarang ditemui karena sebagian besar wanita lebih menyukai persalinan caesar. Hal ini dikarenakan persalinan caesar dirasa lebih mudah dan tidak menyakitkan. Namun, dalam beberapa kasus, para ibu memang harus melakukan operasi caesar karena kondisi tertentu.Tetapi, tahukah Anda bahwa operasi caesar memiliki beberapa efek samping. Yuk simak ulasan lengkap dari Boldsky!

1. Bekas luka

Operasi caesar akan meninggalkan bekas luka yang sulit dihilangkan. Anda akan memiliki jaringan parut yang terbentuk di tempat sisi operasi. Jaringan parut ini dapat menimbulkan masalah nantinya. Bagaimana jika Anda perlu melakukan operasi penting lainnya di kemudian hari.

2. Bed rest

Anda harus mengambil waktu 3 bulan untuk istirahat total setelah menjalani caesar. Ingat, jangan sepelekan masa penyembuhan ini karena sisa jahitan bekas caesar tidak mudah kering.

3. Hernia

Hernia adalah penyakit yang tumbuh karena adanya luka dalam pada tubuh. Hal ini umumnya terjadi setelah wanita menjalani persalinan caesar. Jika Anda tidak mengambil istirahat yang cukup setelah melahirkan, Anda berisiko besar terkena hernia.

4. Sakit punggung

Sakit punggung menjadi keluhan umum yang sering terjadi karena anestesi epidural. Tetapi juga bisa terjadi karena jahitan. Setiap kali Anda tertawa atau batuk, Anda akan merasakan nyeri seperti digigit semut. Hal ini juga dapat menyebabkan sakit punggung.

Ini adalah beberapa efek samping jangka panjang dari persalinan caesar. Meski dalam beberapa kasus, para ibu memang harus melakukan operasi caesar karena kondisi tertentu.

Kamis, 27 November 2014

Anakmu Mengenalkan Siapa Dirimu

Anakmu Mengenalkan Siapa Dirimu

1. Jika anakmu BERBOHONG, itu
karena engkau MENGHUKUMNYA
terlalu BERAT.

2. Jika anakmu TIDAK PERCAYA
DIRI, itu karena engkau TIDAK
MEMBERI dia SEMANGAT

3. Jika anakmu KURANG
BERBICARA, itu karena engkau TIDAK
MENGAJAKNYA BERBICARA

4. Jika anakmu MENCURI, itu karena
engkau TIDAK MENGAJARINYA
MEMBERI.

5. Jika anakmu PENGECUT, itu karena
engkau selalu MEMBELANYA.

6. Jika anakmu TIDAK MENGHARGAI
ORANG LAIN, itu karena engkau
BERBICARA TERLALU KERAS
KEPADANYA.

7. Jika anakmu MARAH,itu karena
engkau KURANG MEMUJINYA.

8. Jika anakmu SUKA BERBICARA
PEDAS, itu karena engkau TIDAK
BERBAGI DENGANNYA.

9. Jika anakmu MENGASARI ORANG
LAIN, itu karena engkau SUKA
MELAKUKAN KEKERASAN
TERHADAPNYA.

10. Jika anakmu LEMAH, itu karena
engkau SUKA MENGANCAMNYA.

11. Jika anakmu CEMBURU, itu karena
engkau MENELANTARKANNYA.

12. Jika anakmu MENGANGGUMU, itu
karena engkau KURANG MENCIUM &
MEMELUKNYA

13. Jika anakmu TIDAK
MEMATUHIMU, itu karena engkau
MENUNTUT TERLALU BANYAK
padanya.

14. Jika anakmu TERTUTUP, itu karena
engkau TERLALU SIBUK.

Please like n share

sumber :
https://www.facebook.com/FamilyGuideIndonesia

Rabu, 19 November 2014

GEJALA SEKS MATANG DINI PADA ANAK ZAMAN SEKARANG

GEJALA SEKS MATANG DINI PADA ANAK ZAMAN SEKARANG

Apakah anak kita mengalaminya ?
Hallo ayah edy, aku Meisty (bukan nama sesungguhnya) please tolong dong... aku lagi agak2 resah nich... masak anakku masih baru usia kira2 4 tahun kok udah cerita2 seneng ama teman cowoknya di Kinder Gartennya, wah... aku suprise juga.. sekaligus bingung kok bisa ya... trus sebagai ortu bagaimana yach... aku harus menyikapinya...? Please tolong di jawab asap ya...please...3X
Bunda Meisty yg baik,
Kira-kira putri kecil ibu lebih mirip siapa ya...? ayahnya atau bundanya waktu masih kecil dulu..?.(maaf sekedar bergurau) mungkin zaman kita dulu belum seperti sekarang ya... masih kecil-kecil sudah seperti ini.
Memang betul sekali Bun belakangan ini sy sering mendapat keluhan dari orang tua mengenai anak-anak usia dini mereka yang sudah menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada lawan jenis juga bertanya seputar organ dan aktivitas sex. Cukup mengejutkan memang jika dibandingkan dengan zaman kita kecil dulu yg mungkin baru mulai tertarik pada lawan jenis saat usia SMP atau malah SMA.
Dari seorang ahli nutrisionist sy mendapatkan masukan katanya hal ini mungkin terjadi di picu oleh jenis2 makanan yg banyak di kosumsi oleh anak kita dewasa ini yg sebagian besar mengandung sejenis hormon pertumbuhan baik disuntikan pada binatang ternak konsumsi.
Terlepas dari benar tidaknya hal tersebut tapi sy yakin bahwa hormon pertumbuhan yg disuntikan pada hewan kosumsi ada kaitannya dengan pertumbuhan hormon matang dini pada anak-anak kita.
Faktor kedua adalah banyaknya jenis rangsangan yg mempercepatnya matangnya hormon seksual pada anak2 terutama melalui internet, gadget terutama program tv yg menyajikan tayangan yg sangat kental sekali dengan bumbu seksual dan pacaran bagi anak-anak.
Jika ibu cermati tayangan sinetron anak-anak zaman sekarang hampir semuanya di bumbui kisah percintaan dan suka-sukaan meskipun pemerannya anak2 usia belia dan bahkan balita. Dan terkadang banyak adegan yang mengarah pada pornografi dan pornoaksi yang tidak di sensor. Atau juga sisipan-sisipan iklan dengan adegan yang tidak patut di lihat anak kita.
Sementara jika dibandingkan dengan saat kita kecil dulu akses dan tontonan yg berbau percintaan semacam ini sangatlah terbatas (kita dulu hanya punya satu stasion TV yg di awasi ketat). Menurut hemat saya faktor inilah yg menjadi pemicu terbesar prilaku sex matang dini anak-anak zaman sekarang.
Hal ini juga ternyata dibenarkan berdasarkan teori neuro sains/Sains Otak, yg mengatakan bahwa sistem syaraf otak anak kita akan merespon hal-hal apa yg paling sering di terima oleh sistem indra penerimanya, dan hal tersebut akan mempercepat proses pertumbuhan hormon2 terkait. Sehingga pada akhirnya ini akan memicu munculnya fenomena seks matang dini. Mungkin ini mirip dengan perumpamaan buah yg di petik dan di peram/di karbit agar lebih cepat matang atau matang dipercepat sebelum waktu alamiahnya.
Masalahnya jika hal ini sudah terlanjur terjadi apa yg perlu kita lakukan?
Langkah pertama tentu saja sy menganjurkan para orang tua sedapat mungkin memilihkan makanan yg lebih alami tanpa hormon pertumbuhan semisal ayah kalau bisa ayam kampung. Dan yg jauh lebih penting adalah menghindari anak dari melihat tontonan atau tayangan yg memicu pertumbuhan hormon2 seksual anak sebelum waktunya.
Sebenarnya seks sendiri adalah sesuatu yg netral, Ia akan menjadi cenderung negatif manakala hadir tidak pada tempatnya dan belum waktunya,
Sesungguhnya jika kita mau Seks itu bisa kita arahkan responsenya menjadi Sains biologi yg menjadi bagian kerja otak kiri anak, misalnya dengan mengarahkan penjelasan ke arah sistem reproduksi yg terdapat pada hewan dan tumbuhan. Sementara Seks akan mengarah pada pornografi jika yg ditampilkan adalah bentuk2 visual imaginasi dan erotisme (yg menjadi bagian dari fungsi otak kanan anak).
Untuk anak-anak usia dini akan jauh lebih baik jika pembicaraan seputar seks dan hubungan lawan jenis di arahkan pada Sains Biologi dan kedokteran Ketimbang pada visualisasi imaJinasi, hanya sayangnya tayangan televisi kita malah melakukan sebaliknya dan kita kita tidak kuasa untuk mencegahnya, kecuali mengganti kabel antena tv dengan dvd yang film-filmya bisa kita pilihkan yang lebih mengedukasi anak kita.
Ketika anak sudah terlanjur melihat dan bertanya seputar ketertarikan lawan jenis dan aktivitas seksual sebaiknya tidak perlu panik dan ditutup-tutupi, sedapat mungkin kita mengarahkan penjelasan kita pada sisi sains dari organ sex dan hubungan sex misalnya dengan menjelaskan proses reproduksi, kemudian sedapat mungkin mengajak anak untuk mengeksplorasi aktivitas reproduksi misalnya pada serangga, pada beberapa jenis ikan, berbagai macam tumbuhan dan sebagainya agar setiap ia melihat aktivitas seksual ia terbiasa untuk melihatnya sebagai sebuah aktivitas sains biologi yg alami.
Selain itu kita juga bisa menambahkan penjelasan tentang efek2 penyakit yg ditimbulkan akibat aktivitas sexual yg tidak sehat berikut contoh2 gambar yg kita ambilkan dari buku2 sains kedokteran. Jika ini yg lebih sering kita lakukan pada anak maka otak kiri anaklah yg akan jauh lebih dominan bekerja manakala datang pengaruh dari luar yang berbau pornografi dan seksual. Dan sebagai penutupnya kita kaitkan dengan etika moral dan nilai-nilai yang di ajarkan oleh agama kita masing-masing.
Cara inilah yg juga kami terapkan di sekolah kami dan pada orang tua yg menyekolahkan anaknya disana, karena proses ini perlu kekompakan antara orang tua dan pihak guru di sekolahnya untuk membentengi anak kita dari fenomena bahaya seks matang dini yg saat ini marak terjadi dimana-mana.
Untuk bisa mendapatkan info dan belajar lebih lengkap kita bisa mengikuti seminarnya yang akan di adakan di Yogya pada tanggal 13 Desember 2014
Info pendaftaran bisa di lihat pada brosur di bawah ini,
Semoga bermanfaat.
-ayah edy-
www.ayahkita.com

Minggu, 09 November 2014

ANAK KITA ADALAH SEBUAH CERMIN DARI KITA

ANAK KITA ADALAH SEBUAH CERMIN DARI KITA

Tolong dong ayah, kayaknya aku merasa kesulitan sekali untuk mengatasi prilaku buruk anakku nih..., Tolong di jawab ya....
Begitu kira-kira bunyi komen seorang ibu yang juga sekaligus ingin curcol, ingin mengeluh sekaligus ingin menemukan solusi.
Sahabat ku para orang tua sejawat,
Banyak orang tua berkata bahwa "Ayah tolong dong, saya merasa kesulitan sekali mengatasi perilaku-perilaku buruk anak saya".
Menurut pengalaman saya 10 tahun jadi orang tua dari 2 orang anak yang luar biasa dengan beda usia hanya 1,5 tahun.
Ternyata yang sesungguhnya saya alami adalah saya bukan kesulitan dalam mengatasi perilaku buruk anak saya tapi justru "saya merasa kesulitan sekali dalam MENGATASI PERILAKU BURUK SAYA SENDIRI,
"Ya perilaku buruk saya, orang tuanya yang pada akhirnya di contoh oleh anak saya".
Jadi akhirnya yang saya lakukan adalah menjalani self therapy atau menterapi diri sendiri supaya saya bisa mengubah prilaku-perilaku buruk saya yang di contoh oleh anak saya.
Dan betul saja ternyata itu tidak mudah...!
Perlu waktu, niat besar, usaha keras, ketekunan dan kesabaran yang tiada batasnya, untuk bisa berubah setahap demi setahap.
Semisal untuk tidak lagi menjadi orang tua yang cepat marah, untuk tidak lagi menjadi orang tua yang berbicara dengan nada tinggi, untuk tidak lagi berbohong pada anak, untuk bisa lebih sering tersenyum ketimbang membentak, untuk menjadi orang tua yang sering memuji ketimbang mencela, untuk menjadi lebih mau menerima mereka apa adanya ketimbang menuntut, untuk menjadi orang tua yang lebih mau mendengar dari pada selalu menasehati
Untuk mau dengan sabar menjawab pertanyaan anakku yang tak henti-hentinya sepanjang hari tentang apa saja yang menurut kita (orang dewasa) "tidak penting" untuk di jawab.
Ya Pertanyaan anakku yang datang bertubi-tubi tanpa henti bahkan terkadang hingga aku sudah terkantuk-kantuk mau tidur ia masih saja terus bertanya.
Tapi tentu saja hasilnya sepadan dengan jerih payah yang sudah kita lakukan.
Yes !!!! Anak kita mulai berubah menjadi baik dan lebih baik lagi dari hari ke hari. Sehingga hidup ini semakin terasa indah dan bahagia bersama anak kita dan anak kita juga merasa bahagia hidup bersama kita.
Jadi sesungguhnya menurut pengalaman saya, PARENTING BUKANLAH HANYA ILMU UNTUK MENDIDIK ANAK, MELAINKAN LEBIH KEPADA ILMU BAGAIMANA KITA MAMPU MENGUBAH SEMUA PERILAKU BURUK MENJADI LEBIH BAIK LAGI.
PARENTING SESUNGGUHNYA LEBIH KEPADA ILMU UNTUK MENDIDIK KITA SENDIRI SEBAGAI ORANG TUA, YANG PERILAKUNYA SETIAP SAAT AKAN DI CONTOH OLEH ANAK.
Benar sekali ! karena ternyata sesungguhnya perilaku anak kita hanyalah cerminan dari perilaku orang tuanya sehari-hari.
Persis seperti sebuah pepatah lama yang mengatakan "like father like son", "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya".
Tidak mungkin kita bisa membuat anak kita berperilaku baik jika kita sendiri tidak berusaha memberikan contoh yang baik kepadanya.
Namun ternyata belajar Parenting itu tidak pernah ada kata akhir, semakin kita belajar semakin sering kita menemukan perilaku2 yang kurang baik yang perlu "segera" kita ubah.
Dan mengapa perlu SEGERA ? karena jika tidak segera kita ubah, maka anak kita pun akan segera menirunya.
Karena memang anak-anak kita adalah para peniru yang ulung dari perilaku orang tuanya, gurunya, dan lingkungan pergaulannya juga tontonan acara dari televisi yang dilihatnya setiap hari.
Dan atas permintaan banyak pihak akhirnya pengalaman kami ini dituliskan dalam sebuah buku yang kami beri judul 37 Kebiasaan Orang Tua yang melahirkan perilaku buruk anak.
Jadi mari kita sama-sama GARIS BAWAHI kalimat ini,
"kita tidak akan pernah bisa memperbaiki perilaku buruk anak kita jika kita sendiri tidak mau memperbaiki perilaku buruk kita sendiri" (yang mungkin kita lakukan diluar kesadaran kita)
Jika dirasa bermanfaat, silahkan dishare tulisan kami ini kepada siapa saja yang perlu membacanya.
Selamat berakhir pekan bersama keluarga tercinta,
Salam syukur penuh berkah,
ayah edy

sumber : fb komunitas ayah edy 

Sabtu, 08 November 2014

Ini Dia Kebiasaan Orang Tua Yang Menyebabkan Anak Berprilaku Negatif

Ini Dia Kebiasaan Orang Tua Yang Kurang Baik Bagi Perkembangan Anak

Ini Dia Kebiasaan Orang Tua Yang Menyebabkan Anak Berprilaku Negatif


"Mana yang nakal, kursinya ya?" Suara seorang Ayah lantang sambil menghampiri balita yang tengah menangis karena terjatuh di dekat kursi. Tak lama kemudian terdengar suara Ayah memukul kursi, "buk..buk..", lalu si Ayahpun berkata dengan bangga... "Udah...udah ayah pukul kursinya, cup cup yaa..jangan nangis lagi".

Apa Anda familiar dengan peristiwa tersebut? atau Anda pernah melakukannya? Sebetulnya ini adalah kebiasaan yang buruk karena bisa menghilangkan rasa bertanggungjawab anak di kemudian hari. Akibatnya, kelak Orangtua akan kesulitan mengatur perilaku anak, bagaimana cara yang tepat dan apa lagi ya kebiasaan yang buruk bagi tumbuh kembang anak? Sebaiknya Anda membaca artikel ini secara lengkap.




1.  Mengalihkan Tanggung Jawab

Ilustrasi Ayah memukul kursi di atas adalah kebiasaan pengalihan tanggungjawab. Kebiasaan ini tampaknya lazim dilakukan. Niat Ayah sih baik, agar anak berhenti menangis, tapi si Ayah telah salah menempatkan perasaan.

Sebagai orang dewasa, kita sangat tidak ingin dianggap salah oleh orang lain. Maka, secara tidak sadar, si Ayahpun menyalahkan meja, kursi, lantai, tembok atau apapun, asal bukan anaknya. Padahal si anak jatuh karena tubuhnya memang sedang belajar untuk menyeimbangkan diri. Secara psikologis, hal ini adalah proses penumpulan logika anak sekaligus melatihnya untuk tidak bertanggungjawab.

Akibatnya di waktu dewasa, di dunia kerja anak sulit mengidentifikasi sebab akibat, akhirnya ia tidak bisa memberikan solusi yang jitu bagi problem perusahaan. Masalah A, Solusinya malah Z. Selain itu, ia juga cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalannya, bahkan..menyalahkan kita sebagai orangtuanya.

Saat anak terjatuh adalah momen emas untuk menyadari bahwa ada sebab ada akibat, sekaligus membangun daya juang serta rasa tanggungjawabnya.

Yang Lebih Baik Dilakukan
Saat anak terjatuh lalu menangis, kita harus mengajarinya bangkit. Bahkan saat kita tidak berkata apa apa pun, anak akan berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi karena orangtua terlalu overacting.  Sesekali, diam saja dan berikan anggukan senyum atau berikan tangan Ayah dan Bunda untuk membantunya bangkit. Bila merasa perlu penekanan, maka Ayah dan Bunda bisa katakan kepadanya untuk berhati-hati dan bermain lagi.

Bila ia terluka, cukup peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dia untuk mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih hemat kata-kata, lebih hemat tenaga, tapi lebih efektif untuk membentuk prilaku positif.

2. Membohongi Anak

Berbohong pada Anak


Saat kecil, anak-anak selalu mendengarkan apa yang kita katakan. Akan tetap semakin besar, kok anak makin susah dinasihati? makin enggan menurut, atau malah melawan. Apa anak-anak sudah tidak mempercayai kita lagi?

Jawabannnya mungkin IYA! Coba tengok ke belakang, apakah kita pernah melakukan kebohongan-kebohongan kecil?

Coba simak kisah ini. Mikaela berusia 1,5 tahun. Setiap ayahnya berangkat kerja, ia selalu menangis meraung-raung. suatu hari Mikaela tertidur ketika saatnya ayahnya berangkat kerja. Ternyata, Mikaela sama sekali tidak menangis. Sejak itu, Ayahnya selalu mengendap-endap saat pergi kerja sehingga Mikaela tidak menyadarinya. Atau untuk membujuk Mikaela, Ayah berkata bahwa Ayah hanya pergi sebentar saja, padahal ternyata pulangnya malam sekali.

Contoh lain adalah menggunakan ancaman yang bohong. Misalnya saat Dodi tidak mau makan, ibupun mengancam Dodi, "kalau nggak mau makan, nanti nggak boleh main perosotan". Padahal akhirnya boleh juga, lagipula, tidak ada hubungan antara makan dan main perosotan, kan?

Anda familiar dengan kebiasaan tersebut? bila iya, mungkin inilah awal ketidakpercayaan anak kepada orangtuanya. Anak tidak lagi percaya dengan apa yang kita katakan, bahkan anak kehilangan rasa amannya akan janji-janji yang kita ucapkan

Yang sebaiknya dilakukan

Jujur dan proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh kasih sayang. Saat pergi ke kantor, sampaikan apa yang sebenernya dengan kata-kata yang mudah ia pahami misalnya seperti

"Ella, Papa mau pergi ke kantor dulu ya,  nanti sore habie Ella mandi, Papa akan pulang kita bisa main lagi sama sama"

Mungkin anak tetap menangis, tapi lama kelamaan dia belajar bahwa Papa memang akan tetap pergi, tapi sore nanti pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya.

3. Mengobral Ancaman dan Omelan

"Raka, awas jangan naik tinggi-tinggi, nanti jatuh loh!"
"Awas jangan maen di lapangan, nanti diculik!"
"Ayo dimakan dong makan siangnya, nanti Ayah/Bunda marah kalau nggak makan!"
"Jangan bandel, nanti dipenjara pak polisi!"

Mengancam Anak

Saat kita putus asa setelah berbagai cara tidak dituruti anak, ancaman seringkali menjadi alternatif tindakan. Bedakan antara ancaman dan konsekuensi.

Apabila kita menyampaikannya dengan nada tinggi, tidak mengubah posisi tubuh kita, apalagi dengan menunjuk-nunjuk anak, kita tengah mengancam anak. Selain itu, ancaman biasanya tidaklah dibuktikan. Hanya untuk menakut-nakuti saja. Apalagi kalau mengancam dengan menggunakan institusi tertentu yang seharusnya menjaga keamanan, semisal polisi. Padahal, justru anak harus menghampiri polisi saat ketakutan, bukan sebaliknya.

Apabila kita mengubah posisi sehingga mata kita bisa bertatapan dengan mata anak, mengubah intonasi jadi datar namun tegas, lalu konsekuensi benar-benar kita jalankan terhadap anak, maka kita tengan membuat sebuat konsekuensi.

Anak sangatlah cerdas, ia mempelajari pola tingkah laku kita. Sekali dua kali ia temukan kita mengancam dengan ancaman kosong, maka ia belajar bahwa ancaman orangtua tidaklah serius. Selain itu, anak yang biasa diancam biasanya tumbuh jadi anak yang tidak merasa aman. Anak bisa tumbuh jadi anak yang tidak PD atau sebaliknya, anak yang suka mengganggu dan mengancam orang lain.

Yang sebaiknya dilakukan
Saat anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti dari aktivitas kita, lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas namun tetap lembut, jelaskan perasaan kita dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang harus diperbaiki serta sepakati konsekuensi yang akan didapat apabila anak mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya.

"Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya nanti Ibu temani"


4. Menyerang Pribadi Anak, Bukan Prilakunya

Bicara tepat sasaran

Kerapkali saat kita sedang capek-capeknya, kita mengomel tak karuan sehingga apa yang kita bicarakan hanya hardikan demi hardikan. Kita tidak bisa menyampaikan dengan jelas prilaku apa tepatnya yang tidak kita inginkan dari anak, misalnya.

"Duuuh....kamu kok begitu sih! Mama sebel kamu begitu lagi begitu lagi". Hal yang sebenarnya terjadi adalah anak pulang main terlalu sore sehingga ia terlambat mandi atau mengerjakan sesuatu.

Atau saat kita berkata "Ihh..kamu ini anak malas! maen melulu!"

Kalau hal ini dibiasakan, maka anak bisa-bisa merasa bahwa SEMUA yang dilakukannya salah, dan SEMUA yang dilakukan akan membuat anda kesal. Akibatnya, anak merasa dia bukan anak yang baik sehingga dia sekalian saja melakukan hal hal yang tidak benar sehingga Anda menjadi kesal.

Yang Sebaiknya Dilakukan

Anak bukanlah peramal yang bisa dengan tepat memperkirakan apa yang kita inginkan. Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada prilaku yang kurang tepat dan fokus memperbaiki di sana. Misalya,

"Riana, seharusnya Riana sudah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana terlambat pulang, kamu bisa terlambat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti, kan?"

Jangan pula membiarkan diri kita larut dalam amarah, apabila anak sudah menunjukkan gelagat akan memperbaiki sikap, kendalikan diri dan terima dia kembali. Ini menegaskan bahwa yang Anda tidak suka adalah prilakunya dan bukan pribadinya.

5. Memberi Dukungan pada Hal yang Salah


Menurut penelitian otak, otak kita memang lebih memperhatikan hal-hal yang negatif. Demikian pula yang terjadi dalam dunia orang tua dan anak. Kerapkali kita lebih tertarik untuk memperhatikan anak, justru saat mereka berbuat hal yang kurang baik.

Misalnya, saat anak bertengkar, baru kita beranjak dari gadget kita. Atau saat anak merusak sesuatu, barulah kita memperhatikannya, menasihati bahkan mengomeli. Sedangkan sebaliknya saat anak menunjukkan prilaku yang baik kita malah biasa-biasa saja.

Anak bisa jadi berpikir bahwa untuk mendapatkan perhatian kita, mereka perlu berbuat sesuatu yang tidak baik! Nah, susah kan kalau begini...

Yang Sebaiknya dilakukan

Beri penghargaan saat mereka berprilaku baik, misalnya saat bermain dengan rukun, atau mereka mau berbagi, atau hal-hal sederhana seperti saat anak meletakkan handuk pada tempatnya, misalnya.

Ungkapkan perasaa anda seperti :

"Bunda senang lihat Ade bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!"

Anak anda pasti senang dan akan mengulanginya lagi

6. Merendahkan Diri Sendiri/Merendahkan Pasangan



Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.

Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.

7. Papa dan Mama Tidak Kompak


Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.



Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”

8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain


Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.



Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.

9. Menakuti Anak

Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.



Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.

10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai



Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.

Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.

11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak



Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”

Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.

Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.

12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik


Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”

Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.

13. Mudah menyerah dan pasrah



Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.

Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.

14. Marah Yang Berlebihan


Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.

Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.

15. Gengsi untuk Menyapa

Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.

Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.

16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya

Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”

Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.

17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya

Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.

Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.

18. Mengharap perubahan instan

Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.

Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.

19. Pendengar yang buruk

Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.

Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.

Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.

20. Selalu menuruti permintaan anak.

Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.

Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.

21. Terlalu Banyak Larangan

Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.

Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.

22. Terlalu Cepat Menyimpulkan

Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.

Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.

Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.

Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.

23. Mengungkit kesalahan masa lalu

Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”

Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.

24. Suka Membandingkan

Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]

Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?

Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.

Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”

25. Paling benar dan paling tahu segalanya

Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.

Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.

Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.

26. Saling melempar tanggung jawab

Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.

Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.

Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.

27. Kakak harus selalu mengalah

Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?

Ada satu contoh nyata seperti berikut:

Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.

Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.

Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.

28. Menghukum secara fisik

Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.

Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.

Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.


29. Menunda atau membatalkan hukuman

Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.

Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.

Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.

30. Terpancing Emosi

Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.

31. Menghukum Anak Saat Kita Marah

Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

  • Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
  • Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.

32. Mengejek

Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,

Apa yang seharusnya kita lakukan?

Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

33. Menyindir

Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.

Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.

34. Memberi julukan yang buruk

Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.

Solusinya

Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.

35. Mengumpan Anak yang Rewel

Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”

Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.

36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak

Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
  • Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
  • Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
  • Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
  • Oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?

Apa yang seharusnya kita lakukan?

  • Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
  • Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
  • Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.

37. Mengajari Anak untuk Membalas

Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?:

  • Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
  • Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
  • Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.

Kalau berminat bisa langsung membelinya di toko buku terdekat.
Sumber: http://tjokroaminoto360.wordpress.com/

Selasa, 21 Oktober 2014

ANAK-ANAK YANG DI BESARKAN DENGAN PENUH TEKANAN DAN KETAKUTAN


Banyak sekali saya bertemu dengan orang tua yang hidupnya penuh khawatir dan ketakutan akan masa depan anaknya. Khawatir anaknya tidak bisa hidup secara layak seperti orang tuanya.
Hingga segala cara ditempuhnya, mulai dari menyekolahkan di sekolah UNGGULAN, mengikutkan di berbagai kursus, bimbingan belajar mulai siang hingga malam hari. Lalu setelah itu masih di tambah lagi memaksa anak untuk mengerjakan setumpuk PR malam harinya dan esok pagi-pagi sekali harus sudah bangun berangkat ke sekolah bak para pekerja kantoran di usaia anak-anak.
Saya membayangkan betapa lelahnya fisik dan mental anak-anak kita hidup di zaman sekarang.
Lalu apakah benar hasilnya anak-anak kita akan menjadi lebih baik dan pintar? Atau hanya “pintar” sesaat saja versi sekolah karena mendapat angka 10 di raportnya? Sebuah angka yang sama sekali tidak menjamin apapun terhadap masa depan anak kita kecuali hanya untuk mendapat selembar kertas yang bernama ijazah.
Tekanan demi tekanan yang di lakukan oleh para orang tua dan sekolah dengan niat baik agar anaknya menjadi anak "Pintar" atau anak "sukses" tadi nyatanya malah membuat anak-anak tersebut menjadi anak yang stress, anak-anak yang gampang marah, pembangkang, suka membuli dan sering kali berujung pada penyimpangan prilaku anak dan remaja.
Dan setelah itu kerja orang tua disibukkan untuk mencari dan menemui berbagai macam TERAPIS untuk "menyembuhkan" anaknya (yang dulu awalnya sehat-sehat saja dan tidak pernah bermasalah).
Itulah kerja kami selama ini membantu anak-anak yang pada akhirnya di katakan “bermasalah” oleh orang tua dan sekolahnya. Dan mulailah kini giliran orang tuanya yang stress berat melihat tingkah laku anaknya.
Inilah yang sering kami hadapi, membantu orang tua yang anak2nya stress karena KETAKUTAN ORANG TUANYA AKAN MASA DEPAN ANAKNYA.
Memang benar kita tidak bisa melihat masa depan anak kita....,
tapi kita bisa melihat MASA KINI anak-anak kita. Ini yang sering kali kita lupa, sering tidak kita sadari dan luput dari perhatian kita.
Apakah masa kini mereka bahagia hidup bersama kita atau tidak??
Itu sebenarnya jauh lebih penting ketimbang manakutkan masa depan yang kita semua sama-sama belum bisa kita lihat dan pastikan.
Jika mereka merasa bahagia selalu bersama orang tuanya maka sesungguhnya kita tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan masa depannya.
Mengapa ?
Karena orang yang masa-masa kecilnya hidup bahagia (bukan bahagia karena penuh dengan kemewahan, tapi bahagia karena hidup harmonis dengan orang tuanya dan bersama dengan alam lingkungannya) maka kelak akan menjadi orang yang hidupnya bahagia pula.
Dan menurut hasil suatu penelitian bahwa sukses itu selalu di awali dengan memiliki RASA BAHAGIA DAN RASA SYUKUR dalam hidupnya. Saya pikir agama kita pun demikian mengajarkannya pada kita, bukan?
Tahukah anda bahwa belum pernah tercatat dalam sejarah bahwa stress itu akan membuat orang menjadi sukses. Bahkan menurut salah satu jurnal kesehatan stress itu malah membuat seseorang “penyakitan” dan lebih dekat dengan ajal ketimbang lebih dekat dengan sukses.
Yakinlah bahwa anak-anak yang masa kecilnya hidup bahagia maka kelak iapun akan terus merasa bahagia di masa depannya.
Mengapa demikian ???
Karena masa depan sesungguhnya adalah kumpulan atau akumulasi dari masa kini, nasib seseorang kelak merupakan akumulasi pikiran dan perasaan di saat ini.
Anda boleh percaya atau tidak percaya, tapi apa yang saya sampaikan ini adalah berdasarkan kumpulan pengalaman hidup saya dan orang2 yang hidupnya sukses dan bahagia di hampir seluruh dunia, sekali lagi tidak hanya sukses tapi juga BAHAGIA.
Jadi saya sendiri memilih untuk percaya. bahwa anak yang hidup bahagia kelak akan hidup bahagia dimasa dewasa. Dan bahagia itulah yang akan menarik sukses dalam kehidupannya kelak. Juga kehidupan saya hari ini dan kehidupan anda yang juga merasa bahagia hari ini.
Itulah mengapa pertanyaan saya setiap hari pada anak adalah "Apakah kamu bahagia nak? Apakah kamu bahagia berada di dekat ayah ?"
Anda mungkin berpikir ini berlebihan dan hiperbolis, tapi itulah sesungguhnya yang jauh lebih penting bagi saya untuk saya tanyakan pada anak saya ketimbang pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengan “Pintar” dan “Hebat” seperti "Dapat berapa nilai matematikamu hari ini?" atau "Apakah PR sudah selesai di kerjakan?" "Dapat rangking berapa di kelasmu?" dan sejenisnya
Ya pertanyaan-pertanyaan yg sering membuat anak langsung berubah menjadi diam dan stress untuk menjawabnya..
Sahabatku, siapapun boleh tidak setuju dengan posting ini karena hidup ini adalah pilihan dan setiap kepala punya pilihan pendapat yang berbeda-beda berikut konsekuensinya masing-masing, tapi sesungghnya itulah pengalaman hidup saya dan pengalaman hidup dari orang-orang sukses yang hidupnya bahagia.
Karena bagi saya kita ini baru boleh merasa sukses jika kita sudah merasa bahagia dalam menjalani hidup ini
Salam syukur penuh berkah
-ayah edy-

Sabtu, 30 Agustus 2014

DUNIA ANAK ADALAH BERMAIN

Pertanyaan bpk ANH:
Apa dengan tidak mengajarkan ke anak (Calistung) di usia emas nya itu berarti memanjakankan anak yang memiliki kemampuan akademisnya…..
Kita khan bisa menyelipkan huruf2 ato angka2 dalam proses bermain anak. Kalau mereka mampu kenapa tidak diteruskan (kemampuan otak anak juga berbeda-beda ada yang mudah nangkap dan ingatannya tajam dan ada juga yang tidak khan Bu…..)
Jawaban:
Jd begini Pak, kami menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia itu tdk memahami perkembangan otak anak, hal itu mengakibatkan para ortu salah mengasuh dan para guru salah mendidik. Dan apa akibatnya dr salah2 itu?
Kita bisa lihat orang tua yg seharusnya sdh dewasa bertingkah spt anak2. Banyak. Contoh gampangnya anggota DPR kita yth. Tingkahnya persis anak TK. Kerja nggak bener tp minta imbalan lebih, nggak dikasih ma rakyat tp malah ngelunjak.
Contoh ke-2, kita lebih banyak mencetak insan2 bermental pegawai bukan visioner, bukan pakar/ahli dibidang masing2, bukan orang2 yg bermental pengusaha pembuka lowongan kerja. Rakyat Indonesia tdk suka mengambil resiko kegagalan, pilih jd pegawai krn tenang mendapat gaji bulanan tp ketika di PHK kelabakan nggak punya keterampilan.
Contoh ke-3, kita terbiasa mengapresiasi rangking teratas (5/10 besar), nilai sempurna (80-100) kita jarang mengapresiasi kerja keras mereka dalam belajar. Padahal ada anak yg sudah belajar mati2an tapi mereka tetep gak dpt nilai bagus gak dapet rangking krn kemampuan mereka tdk sama dan bakat mereka pun beda2. Akibatnya? ketika UN sekolah melakukan kecurangan diamini oleh ortu (sdh terjadi bukan?) Kalau anak2 kita terbiasa dihargai kerja kerasnya bukan angka atau nilainya semata, mereka pasti menolak disuruh curang, karena mereka PD dengan hasil usaha belajarnya sendiri, tapi nyatanya…buanyakkk anak2 itu yg melaksanakan perintah memalukan itu. Dan kita sekarang pun memiliki pahlawan cilik kejujuran segala.
Para ahli otak di dunia termasuk di Indonesia semacam Indonesian Neuroscience Society sdh lama melakukan penelitian bahwa: otak anak2 itu belum berkembang sempurna(matang) hingga dia berusia 20-25th! stlh sempurna baru mereka dianggap yg namanya “Dewasa”. Bayangkan!
Otak kita dibagi 3: batang otak (diatas leher), limbik (kepala bg belakang), dan pre frontal cortex/PFC (kepala bag depan/di jidat). Perkembangan ketiganya itu pun sesuai dng urutan diatas. Jd PFC itulah yg terakhir berkembang dng sempurna dan yg menandakan seseorang mjd dewasa.
Kita pasti sdh familiar dengan kisah Rosulallah yg ketika mengimami sholat beliau sujudnya lamaaaa sekali. Lalu para sahabat bertanya: “kenapa lama? apakah Rosulallah sedang menerima wahyu dr Allah SWT?” Rosul menjawab:”tidak, cucuku tadi menaiki punggungku”. Jd beliau menunggu sampai cucunya turun dr punggungnya. Beliau tdk memberi isyarat pd cucunya unt turun. Tak spt kita, kalau kita paling dicubit itu anak hahaha.. benar bukan?
Apa yg kita petik dr kisah diatas? Rosul lebih mementingkan/mendahulukan cucunya yg sedang bermain2 ketimbang ibadahnya! Subhanallah…!
Dan apa hubungan kisah diatas dengan perkembangan otak?
Sambungan otak anak2 itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal2 kognitif pada usia 7-8 th. Sebelum usia itu, dunia mereka yg pantas adalah hanya bermain, bermain dan bermain. Dan mereka PUN tidak boleh DIMARAHI. Allahuakbar! Sebelum ada ahli otak yg meneliti, Rosulallah sudah menerapkan hal itu pada cucunya!
Lalu apa akibatnya kalau masa2 usia bermain mereka direnggut untuk belajar hal2 yg kognitif? –> Dewasanya kelak mereka bertingkah spt anak kecil: suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit2an karena ingin diperhatikan orang2 sekitarnya, spt anggota DPR yg saya tuliskan di atas, korupsi demi kepentingan diri sendiri/keluarga/golongan dan tdk merasa bersalah malah ngeles terus di pengadilan, dannn sikap kekanak2an lainnya
Kalau kita ingin membuktikannya, ada ciri2 yang mudah kita lihat bahwa perkembangan otak anak2 belum siap untuk menerima hal2 kognitif :
(1) ketika kita membacakannya sebuah cerita/dongeng mereka akan meminta kita mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Kita yg tua sampai bosen tp dia tak pernah bosen mendengar cerita kesukaannya itu diulang2 berkali-kali berhari-hari.
(2) mereka yg antusias belajar membaca lalu bisa, tapi mereka tidak paham dengan apa yg mereka baca.
Silahkan dipraktikkan.
Kalau mereka hari ini minta dibacakan cerita A besok minta cerita B besoknya lagi C esok lagi D dan kalau mereka sdh paham dengan apa yg dibacakan, artinya otak mereka sdh siap menerima hal2 yg kognitif.
Lalu apa yg seharusnya kita ajarkan pada mereka (0-7/8th)?
1. JANGAN DIMARAHI
2. TIDAK DIAJARKAN MEMBACA, MENULIS, MENGHITUNG.
3. Bermain role play; memahami bahasa tubuh, suara dan wajah; berbagi hal yg memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan musik, mendengarkan dongeng,
4. Bahkan, anak usia 0-12th pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yg tepat, empati, (mood & feeling)

Jadi, aturan pemerintah tentang usia masuk SD harus minimal 7th itu bukan tanpa alasan.
Tentu boleh2 saja menyelipkan angka dan huruf, tapi tidak belajar membaca dan menulis dan menghitung.
Mudah nangkep & ingatannya tajam atau tidak bukanlah ukurannya.
Bagaimana dengan tidak mengajarkan anak calistung diusia emas diartikan kita memanjakan anak? wong dia belum bisa mikir itu sudah waktunya dipelajari atau belum :) Usia emas itu jualannya susu Formula Pak.. :) Usia emas semestinya kita artikan sebagai masa2 tumbuh kembang anak yg paling pas untuk kita tanamkan budi pekerti dan akhlak yg mulia.
Slogan TK: bermain sambil belajar, belajar seraya bemain JANGAN diartikan dng BELAJAR calistung.
Para peneliti otak diseluruh dunia sepakat bahwa PFC seorang anak belum siap untuk dijejalkan hal2 yg kognitif. Apa akibat dr pemaksaan terhadap hal2 kognitif?
- membuat anak tidak mampu menunjukkan emosi yg tepat.
- kendali emosi (intra personalnya terganggu)
- sulit menunjukkan empati.
Sudah banyak ortu yg mengeluhkan: anak2nya ketika masih usia dini sangat antuasias belajar CALISTUNG lalu ortunya merespon dengan memberikan porsi lebih banyak entah mengajari sendiri secara intensif atau memasukkannya ke les2 calistung daaannnn ujung2nya datang pada satu masa anak2 itu bosan lalu akhirnya mogok belajar mogok sekolah. mereka menjadi malas. Itu terjadi karena otaknya yg terforsir sudah kelelahan. Bahkan ada yg saat mau ujian malahan blank, nggak bisa mikir sama sekali.
Tenang, Pak… kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa metematika, namun diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ini sudah terbukti.
Jadi sudah sangat jelas alasan saya tidak setuju dengan diadakannya lomba calistung untuk anak TK dan sederajat di Madrasah kita. ahh belum lagi efek kejiwaan yg dihasilkan pd anak2 itu karena mengikuti lomba2 terlalu dini apalagi calistung. Sudah terlalu panjang, kapan2 Insyallah saya tulis jg disini.
Wassalam.

*Pengetahuan yg saya tulis diatas saya dapatkan (sarikan) dari hasil mengikuti seminar2 parenting ibu Elly Risman, Psi dan talkshow2 serta tulisan2 Ayah Edy.
*Ini saya lampirkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen tentang larangan Calistung pada PAUD dan larangan ujian/tes untuk masuk SD. Silahkan di download. Bisa ditunjukkan pada sekolah yg memberlakukan syarat tes calistung untuk masuk SD dan sederajat.
sumber : http://yani.widianto.com/2012/03/13/mengapa-anak-tk-tak-boleh-diajari-calistung/